Senin, 08 Februari 2010

PENDIDIKAN & PERUBAHAN SIKAP

“Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”, sebuah ungkapan yang sangat realistis melihat sebagian dunia pendidikan kita yang dilakoni oleh guru-guru & lembaga pendidikan yang tak lain adalah pendidik dan pencetak generasi penerus bangsa.

Mengapa…? Tanya Kenapa…?
Membelah, mengamati dan mengevaluasi yang menjadi agenda tahunan DepDiknas yang mewajibkan sekolah-sekolah menyelenggarakan Ujian Nasional (UN) yang sebelumnya kita kenal dengan sebutan Ujian Akhir Nasional (UAN) kepada siswa-siswa. Pembiasaan yang dilakukan ini bertujuan meningkatkan SDM untuk persaingan di zaman globalisasi ini yang haruslah terstandarisasi melalui BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan) yang di bawah naungan PUSPENDIK Departemen Pendidikan Nasional. Pembiasaan ini juga diharapkan mewujudkan budaya yang kompetitif dengan mengedepankan mentalitas & budi pekerti. Tapi sayangnya hanya menjadi angan-angan belaka bagi pencetus, stake holder dan orang-orang yang menginginkan adanya perbaikan kualitas SDM bangsa.

Ditengah kuatnya arus yang dibawah oleh sebagian guru-guru yang menuntut kesejahteraan lebih baik dengan menggunakan segala upaya guna mendapatkan dukungan dan simpati seluruh elemen masyarakat, tapi disisi lain ada oknum guru & yang mengatasnamakan guru mempertontonkan gengsi untuk hanya meluluskan anak didiknya dan guru tersebut dikatakan “hebat”. Bagaikan seorang artis di panggung hiburan tanpa sikap Tut Wuri Handayani melancarkan trik-trik kotor dengan pertimbangan belas kasih yang hanya sesaat dinikmati. Hal ini memacu karena standar kelulusan siswa tahun 2007 khususnya SMA & sederajat dengan nilai rata-rata 5,0 (lima koma nol), yang akan menaikkan nilai standar kelulusan setiap tahunnya sebesar 1 (satu) point sampai titik 7,0 (tujuh koma nol) seperti standarisasi kelulusan tahun 1950-an.

Kalau kita mau jujur, seperti apa yang di lakukan Inu Kencana di IPDN (Institut Ilmu Pemerintahan Negara) Jatinangor-Jawa Barat. Proses UN dalam beberapa tahun ini terlihat jelas adanya kelengkapan UN yang tak bekerja sebagaimana mestinya sesuatu aturan. Pengharapan kita bersama kelengkapan ini mempunyai andil yang besar untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Makassar khususnya dengan dibentuknya pengawas dengan sistem pengawasan silang yang dilakukan oleh guru-guru antar sekolah, ditambah pula dengan pemantau independent dari LSM atau yang berasal dari perguruan tinggi dan tak ketinggalan yang benar-benar dikatakan pengawas yaitu Polisi. Sayangnya mereka tidak mampu berbuat maksimal dalam menemukan bukti-bukti kecurangan.

Padahal yang terjadi seperti yang Inu Kencana publikasikan tentang IPDN, bahwa di IPDN terjadi adalah budaya yang lambat laun menjadi sistematik karena tak adanya keinginan kuat dari penentu kebijakan. Nah hal inilah yang terjadi dalam ujian UN di Makassar. Semua orang mulai dari orang tua siswa, guru, kepala sekolah hingga kepala Dinas Pendidikan Nasional tak mau kehilangan gengsi/muka dalam pembinaan pendidikan yang merupakan tanggungjawabnya. Mereka tidak mau dikatakan gagal dalam evaluasi kelulusan siswa, justru mereka sangat menginginkan prestasi yang dikatakan ”sukses” dengan nilai baik. Kita hanya bermain dalam angka-angka statistik belaka, tapi disisi moralitas kita hancur karena menampilkan budi pekerti yang tak etis untuk jadi contoh. Cuma satu alasan yang dikatakan bila kita bertanya kepada mereka, yaitu Kasihan.... kasihan... anak-anak, tolong dibantu, bila tidak mereka akan tinggal sekolah.

Pengawas disekolah hanya mengawasi pemantau, itulah yang terjadi didepan mata kita pun kalau kita mau jujur. Bukannya mengawasi siswa peserta ujian yang menjadi tugas utamanya. Padahal bila kita menilik hasil wawancara wartawan (18/4/07) dengan Prof. Dr. H. Halide, Ketua Dewan Pendidikan SulSel, mengatakan menjamin tidak ada soal yang bocor karena diawasi oleh tim independen selama 1 x 24 jam semasa UN. Halide juga mengatakan bila terjadi kecurangan perjokian seperti tahun lalu sampai nyontek sekalipun akan diberi sanksi hukuman tidak lulus. Tapi, apakah kita berani ? Tapi toh bila berani, pemerintah hanya tebang pilih. Lihat saja pemberitaan beberapa media di Makassar.

Dengan alasan tersebut, sepertinya mereka oknum guru menghalalkan segala cara untuk membuat siswanya lulus dengan dalih kasihan standar nilai sangat tinggi. Padahal, hal tersebut juga dilakukan tahun sebelumnya yang menggunakan standar nilai yang lebih rendah yaitu 4,5 (empat koma lima). Jaminan akan terulang itu pasti ditahun depan, alasan standar nilai yang naik menjadi pemicunya.

Jadi boleh dikata bahwa Menterilah yang salah karena membijaksanai keluarnya peraturan standar nilai, tapi bila menteri yang ditanya jawabannya adalah tuntuan dunia kerja yang profesionallah yang salah karena menuntut SDM yang kreatif nan berkualitas, tapi bila mereka pula yang ditanya jawaban pastinya adalah karena ini tuntutan kehidupan manusia yang tergambarkan dari kebutuhan yang semakin hari semakin meningkat dan beragam. Jadi, ujung-ujungnya yang salah adalah kita sendiri sebagai anggota masyarakat. Kenapa mau merealisasikan atau mencukupi kebutuhan yang selalu harus lebih baik dan lebih segalanya. Seandainya tidak, kita hidup biasa-biasa saja, tanpa perkembangan, tanpa kemajuan, tanpa kepintaran, menjadi manusia atau masyarakat Indonesia yang tertinggal dari saudara-saudara kita di negara lain.

Tanpa sadar yang dilakukan oleh oknum guru yang dilegalkan oleh sebagian sekolah menjadikan siswa sebagai manusia pekerja kalau tidak mau dikatakan buruh. Bukannya kita mempunyai konsep untuk menjadikan mereka manusia pemikir yang mampu menjadi manajer di kampung sendiri, bukannya menjadi pembantu dinegara lain walau dengan gaji manajer. Meraka para siswa malah makin malas, makin bodoh yang akhirnya akan menjadi miskin dan setiap tahun akan menyumbangkan dirinya sebagai orang yang berpredikat (bukan titel) pengangguran seperti tercatat di Departemen Tenaga Kerja sebanyak 11 juta orang di tahun 2007 ini. Jadi sangat sayanglah kalau kita berfikir gengsi semata tanpa perubahan sikap sebagai seorang pendidik yang akan memotivasi dan memfasilitasi siswa kita untuk terjadinya perubahan sikap. Seperti kata bijak yang tersampaikan ….. Change Your Attitude, And You Change Your Life ! ! ! (Rubahlah sikap kamu dan kamu menemukan perubahan hidup kamu).

Menjauhkan pikiran dan sikap yang emosional, bila mau menelaah dan membijaksanai apa yang dilakukan oleh oknum guru & sekolah tersebut, marilah kita mengambil kemungkinan alasan mengapa dilakukan hal seperti itu sehingga menjauhkan mereka dari kesejahteraan yang teridamkan sejak dahulu. Salah satu menjadi sorotan adalah kekecewaan para guru bahkan para pekerja dunia pendidikan dengan penantian yang cukup lama akan alokasi anggaran pendidikan sebesar 20% sesuai dengan UUD 1945 yang baru diterapkan di tahun 2009 untuk semua daerah provinsi maupun kabupaten.

Saat ini provinsi yang kita cintai Sulawesi Selatan telah menerapkan pendidikan gratis di bawah komando Gubernur H. Syahrul Yasin Limpo, tapi menjadi miris sarana prasarana pendidikan yang tak merata menghasilkan suasana yang tak kondusif dalam proses pembelajaran bahkan dibeberapa tempat menghasilkan kualitas yang menurun, tapi disisi lain akhir dari segala proses pendidikan adalah ujian yang memaksakan menyamaratakan tingkat kecerdasan mereka melalui UN yang terstandarisasi. Sekedar membandingkan fasilitas yang dimiliki sekolah-sekolah yang berada di Jakarta – Makassar – dan daerah terpencil di tanah air, Apakah ini adil ? Tapi dari semua itu marilah kita mengambil sesuatu yang positif sebagai wujud kedewasaan kita dalam mendidik anak bangsa menapaki Kemerdekaan ke-63 negeri ini, Indonesia.


Irman Aras,
Guru SMK Komputer Mutara Ilmu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar